BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kegiatan Ekonomi tak lepas dari
upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Banyak permasalahan yang ditimbulkan
dari ekonomi itu sendiri. Ekonomi islam tampil sebagai jawaban dari masalah
ekonomi yang terjadi pada sistem ekonomi sebelumnya. Masalah ekonomi yang
terjadi membuat para pakar Muslim membuat alternatif baru, yaitu ekonomi islam.
Salah satu dari Ekonom Muslim yang akan kami bahas adalah Ibnu Hazm.
Ia terlahir dari keluarga yang kaya
raya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir
administrasi. Ia belajar dari usia remaja yang disukung dan diarahkan oleh
orang tuanya. Ia memiliki karya-karya besar yang patut dibanggakan. Guru-guru
yang mengajarinya pun merupakan faktor keberhasilannya tersebut. Banyak bidang
ilmu yang menjadi pokok bahasannya, termasuk dalam bidang ekonomi
2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana latar belakang kehidupan Ibnu
Hazm?
B. Apa saja karya Ibnu Hazm?
C. Apa saja konsep ekonomi dari pemikiran
Ibnu Hazm?
D. Apakah konsep yang Ibnu Hazm tawarkan
relevan dengan keadaan saat ini?
3.
Tujuan
A. Untuk mengetahui latar belakang
kehidupan Ibnu Hazm.
B. Agar mengetahui karya-karya Ibnu Hazm.
C. Untuk memahami konsep ekonomi yang Ibnu
Hazm tawarkan.
D. Untuk menguji relevansi dari konsep
tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Ibnu Hazm
Ibnu Hazm bernama lengkap Abu Muhammad Ali abn Abu
Umar Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Qurthubi al-Andalusy, lahir pada akhir bulan
Ramadhan 184 H (994 M).[1] Di
rumah keluarganya yang kaya, mewah dan memiliki kekuasaan.[2]
Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi
pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur Abu Amir Muhammad bin Abu amir
al-Qanthani (192 H) dan najib Abd al-Malik al-Mudzaffar (399 H/ 1009 M).
Ibnu Hazm tercatat sebagai satu-satunya orang di
dunia yang lahir dari ayah yang bernama Hazm, dia adalah putra dari khuwaylid.[3] Setelah
itu, Ibnu Hazm diserahkan kepada Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasiy, seorang
ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amal ibadah, maupun kewaraannya.
Di bawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan
menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum.
Ia belajar hadist untuk pertama kalinya kepada Amit
al-Jasur ketika berusia 16 tahun. Pada saat itu, hadist dan fiqih merupakan dua
bidang ilmu yang berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa Ibnu Hazm juga
mempelajari fiqih secara bersamaan.
Keberhasilan Ibnu Hazm tidak terlepas dari arahan
orang tuanya yang menyukai ilmu pengetahuan, di samping ketekunan dan
kesungguhan diri serta kecerdasan yang luar biasa. Kedudukan sosial yang
tinggi, karir politik, musibah dan rintangan tidak menyurutkan kemauannya untuk
terus menuntut ilmu.
Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang
ketika itu mazhab mayoritas di kawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
Mazhab ini bukan saja menjadi panutan masyarakat dan ulama setempat, akan
tetapi juga menjadi mazhab resmi Negara.
Hal ini tergambar dari pemegang jabatan Qadi dan keputusan yang harus
berlandaskan mazhab tersebut. Di samping itu ia juga menerima pelajaran dari
ulama Maliki, seperti Abdullah bin Dahun dan Ahmad bin Jasur, dengan
mempelajari kitab karanagn Imam Malik, al-Muawatha. Dengan mempelajari kitab
tersebut, Ibnu Hazm sekaligus mempelajari hadist dan fiqih mazhab ini.
Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah
telah menempatkan qiyas dan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara
sebagian fuqaha dengan penguasa dalam memberikan memberikan berbagai fatwa
hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak. Untuk mempelajari
kondisi tersebut, Ibnu Hazm memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari
awal, dengan kebebasan berijtihad dan menolak taklid. Menurutnya, ijtihad
adalah kembali kepada al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kezahiran Ibnu Hazm merupakan reaksinya terhadap fenomena sosial politik
yang secara mendasar membutuhkan perbaikan dari sisi landasannya, yaitu
pengetatan pamahaman dan penerapan nash syariat. Oleh karena itu, aktivitas intelektualmya,
terutama dalam bidang fiqih merupakan upaya untuk mengubah aspek pemikiran yang
menjadi dasar berbagai penyelewengan hukum yang terjadi, untuk seterusnya
dikembalikan kepada sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadist.[4]
Beliau mulai berguru pada tahun 400 H.[5] Di
antara guru-guru Ibnu Hazm yang mewarnai pemikirannya adalah Ibnu Abd Barr
al-Maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya bin Mas’ud, Abu al-Khiyar Mas’ud
bin Sulaiman al-Dhahiri, Yunus bin Abdullah al-Qadhi, Muhammad bin said bin
sa’i, Abdullah bin al-Rabi’ al-Tamimi, Abdullah bin Yusuf bin Nami.[6]
Setelah hancurnya Kordoba karena serangan Kaum
Barbar, Ibnu hazm pindah ke Syatibi. Pada tahun 418 H/ 1027 M ia tinggal di
Syatibi. Dan pada tahun 440 H/ 1048 M ia berada di pulau Majorea sebagi pengungsi.
Ketika desas-desus di kalangan ulama fikih tentang mazhab Adh-Dhakhiri merebak,
ia kembali ke negeri asalnya, Manta Lisyam hingga wafat di sana pada tahun 456
H/ 1064 M.[7]
2.
Karya-karya Ibnu Hazm
Menurut anaknya Abu Rafi’, Ibnu Hazm memiliki 400
karya yang terdiri dari 80.000 lembar. Karyanya meliputi bidang hukum, logika,
sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi. Ia seorang pemikir yang sangat
teliti. Ibnu Hazm menulis banyak kitab yang sebagian besar di antaranya hilang
ketika terjadi kekacauan di Kordoba.
Di antara karya-karyanya:
1. At-Taqrib li Hudud Al-Mantiq.
2. Tauq Al-Hamamah fi Fadhli Ahli
Al-Andalus
3. Nuqat Al-Arus fi Tawarikhi al-Khulafa
4. Al-Fashl fi Al-Nilal wa Al-Ahwa wa
An-Nihal
5. Al-Hakam fi Ushul Al-Ahkam
6. Al-Ittishal ila Fahm Al-Khishal
7. Ibthal Al-Qiyas wa Ar-Ra’y wa
Al-Istihsan wa At-Taqlid wa At-Ta’lil
8. Jamharat Al-Ansab (Ansab Al-Arab)
9. Kitab Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawat
An-Nufus
Selain menulis kitab ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga
menulis kitab sastra. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah thauq
al-Hamamah (di bawah naungan cinta).[8]
Tidak dapat diragukan lagi ibn Hazm adalah seseorang
pakar dibidangnya, hal tersebut dapat kita lihat dari komentardari beberapa
tokoh, Abu Hamid al-Ghazali: “Saya melihat buku-buku karangan Ibnu Hazm,
semuanya menujukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”.
Di samping kemampuan yang tinggi, Ibnu Hazm juga
terkenal dengan sifat ikhlasnya, keikhlasan dan tidak adanya tendensi apa-apa
menjadikan Ibnu Hazm sebagai sosok ulama yang berani, tegas, lugas dalam
menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran, dengan ucapan dan tulisan,
tanpa memikirkan apakah hal tersebut menguntungkan dirinya atau bahkan
merugikan. Keberanian tersebut dapat jelas kita lihat dalam buku-bukunya.
3.Pemikiran Ibnu Hazm
a. Sewa Tanah dan
Pemerataan Kesempatan
Sejalan dengan pendekatan zahirinya,
Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha di bidang ekonomi
yang cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami. Konsep ini
mengarah pada kesejahteraan masyarakat banyak namun tetap berlandaskan keadilan
sosial dan keseimbangan sesuai denga petunjuk al-Qur’an dan Hadist. Karena
itulah, sebagian penulis kontemporer menyatakan beliau sebagai perintis ekonomi
sosialis yang Islami. Walaupun penilaian tersenut kelihatan cenderung
tarik-menarik syariat Islam kepada suatu sistem ekonomi Barat. Syariat Islam
bukanlah sistem sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif. Sebaliknya bukan
pula seperti pemikiran kaum kapitalis yang menekankan kepada pemilikan individual.
Berkaitan dengan itu, pemikiran Ibnu
Hazm tentang sewa tanah sangat menarik untuk dicermati. Menurut beliau:
“Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk cocok tanam,
perkebunan, mendirikan bangunan, atau pun segala sesuatu, baik untuk jangka
pendek, jangka panjang maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan
dinar maupn dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.
Kecuali mengikuti sistem berikut
ini: “Tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem
bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika terdapat
bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan
tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali”.
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu
Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah yaitu:
1. Tanah tersebut dikerjakan atau digarap
oleh pemiliknya sendiri
2. Si pemilik mengizinkan orang lain
menggarap tanah tanpa meminta sewa
3. Si pemilik memberikan kesempatan orang
lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat atau tenaga kerja yang berasal dari
dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan presentase
tertentu sesuai dengan kesepakatan.
Pandangan Ibnu Hazm tersebut berbeda dengan jumhur
fuqaha yang secara umum memperbolehkan penyewaan tanah, sebagaimana bolehnya
melakukan muzara’ah dan mugharasah. Termasuk di antara mereka adalah Abu
Hanifa, Malik, Abu Yusuf, Zufar, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Syafi’i
dan Abu Sulaiman. Agaknya pendapat ini bertitik tolak dari kepemilikan tanah
secara mutlak. Si pemilik berhak sepenuhnya sendiri atau pemanfaatannya dalam
jangka waktu tertentu ia alihkan kepada orang lain dengan ganti rugi berupa
sewa yang dibayarkan kepada pemilik tanah itu sesuai dengan kesepakatan.
b.
Jaminan Sosial Bagi Orang yang Tidak Mampu
1) Pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs)
dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat kebutuhan pokok yang
memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu makanan, minuman, pakaian dan perlindungan
(rumah). Dalam konteks ini, Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu
tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini terjadi akibat laju populasibyang
meningkat cepat (akibat kelahiran atau migrasi). Kesenjangan yang lebar antara
si kaya dan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya
mempengaruhi struktur administrasi, cita rasa dan berbagai pengaruh lain
seperti kenaikan tingkat harga dalam aktifitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarka
zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial
lain di luar zakat yang wajib dipenuhi oleh orang kaya. Ibnu Hazm mendasarkan
pandangannya tersebut pada firman Allah SWT:
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros,” (Surat al-Isra’ ayat 26).
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh[9],
dan teman sejawat, ibnu sabil[10]
dan hamba sahayamu.” (Surat an-Nisa’ ayat 36)
Hak-hak yang diperintahkan Allah SWT untuk dipenuhi
orang kaya, dipahami Ibnu Hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang mesti
dipenuhi tersebut tidak lain merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang
meliputi sandang, pangan dan papan yang layak dan sesuai dengan harkat
kemanusiaan. Hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang menjadi
tanggung jawab sosial secara bersama-sama dalam mewujudkannya demi tercapainya
keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak
pernah dikehendaki oleh siapapun. Orang miskin harus dibantu untuk bisa
terbebas dari kemiskinan yang membelenggu.
2) Kewajiban mengeluarkan harta selain
zakat
Persoalan mengenai adanya kewajiban harta selain
zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha
menyatakan adanya kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat
ini juga pendapat sebagian sahabat seperti Umar ibn al-Khatab, Ali bin Abi
Thalib, Abu Dzar al-Ghifari, Aisyah, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Hasan ibn
Ali dan Fatimah binti Qai.
Di antar golongan tabi’in yang berpendapat senada
adalah al-Sya’bi, Mujahid dan thawus. Dengan demikian pendapat tersebut bukan
merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang pertama
yang berpendapat demikian.berbeda dengan pendapat tersebut, sebagian fuqaha
yang lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat.[11]
Jika fakir miskin dan orang-orang yang layak untuk
disantuni tidak ada dalam suatu tempat, kewajiban tersebut hilang dengan sendirinya.
Inilah tampaknya yang membedakan antara kewajiban zakat dengan kewajiban
pemberian santunan di luar zakat. Ibnu Hazm sendiri juga menyatakan bahwa
kewajiban harta selain zakat tersebut ada selam zakat dan Kas Negara (bait
al-mal) tidak cukup untuk menanggungnya. Jika mencukupi, kewajiban itu hilang
dengan sendirinya. Dengan demikian, sebenarnya perbedaan antara kedua pendapat
tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan
sebagai kewajiban kifai dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang
sangat dianjurkan.
c.
Urgensi Zakat
Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm menekankan pada
status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam
upaya membarantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagi pengumpul zakat
dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan membayar zakat, sehingga orang
mau mengeluarkannya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang
menolak zakat sebagai kewajiban, ia di anggap murtad. Dengan cara ini, hukuman
dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara
tersembunyi maupun terang-terangan.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak
akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum
mengeluarkannya selam hidupnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya.
Sebab tidak mengeluarkan zakat berarti punya hutang terhadap Allah SWT. Hal ini
berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang jka tidak
dibayar berarti kredit macet (tidak adap pemasukan) bagi Negara dalam periode
waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu
tertentu.
d.
Persoalan Pajak
Ibnu Hazm sangat konsen terhadap faktor keadilan
dalam sistem pajak. Menurutnya, sebelum segala sesuatu diatur, hasrat orang
untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena
apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkan. Ibnu Hazm konsen
terhadap sistem pengumpulan pajak secara alami.
e.
Sumber Hukum menurut Ibnu Hazm
Dalam menggali hukum, Ibnu Hazm hanya menggunakan
tiga sumber, yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber pokok yang
disepkati para ulama dalam beristinbat, al-Qur’an ada kalanya dijelaskan oleh
al-Qur’an sendiri, seperti hukum perkawinan. Al-Qur’an menjadi penjelas bagi al-Qur’an,
sehngga meurut Ibnu Hazm tidak ada ayat mutashabihat selain fawatih al-Suwar
dan sunnah-sunnah Allah di dalamnya karena semua ayat al-Qur’an adalah jelas
dan terang maknanya.
Menurut Ibnu Hazm naskh adalah
pengecualian terhadap keumuman hukum dari segi masa seperti ayat yang melarang
menikah dengan wanita musyrik secara umum kemudian datang ayat yang membolehkan
menikahi wanita ahli kitab.
Naskh
hanya berlaku bagi ayat-ayat berita yang menunjukkan perintah dan larangan dan
tidak berlaku bagi ayat-ayat berita. Menurut Ibnu Hazm, aal-Qur’an dapat
menaskh al-Sunnah dan al-Sunnah dapat menasakh al-Qur’an.karena segala yang
datang dari Rosul sesungguhnya adalah datang dari Allah, maka al-Sunnah yang
sahih adalah sejajar dengan al-Qur’an dari segi kewajiban mentaatinya. Ibnu
Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa dalil dari al-Qur’an:
“Ayat mana saja yang
kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya
(al-Baqarah:106).
Dalam memahami sebuah naskh, Ibnu
hazm selalu melihat dari sisi zhahirnya, hal tersebut membawa kepada pemahaman
bahwa seluruh perintah Allah dan Rosulnya menimbulkan hukum wajib dan
larangan-larangannya menimbulkan hukum keharaman kecuali adanya hal yang
menunjukkan pengecualian, dengan demikian orang tidak boleh mengatakan bahwa
sesuatu adalah haram atau halal kecuali berdasarkan nas yang shahih. Nash yang
umum harus diambil umumnya karena itu yang zhahir, kecuali ada hal yang
menjelaskan bahwa yag dimaksud bukan yang zhahir. Ibnu Hazm juga memasukkan
makna majasi sebagai makna zhahir nash jika sudah dikenal pemakaiannya atau ada
qarinah yang menegaskannya.
Al-Sunnah
Sunnah mutawatirah menurut Ibnu Hazm
adalah ma naqalathu kafatun ba’da kafatin hatta tabluqha bihi al-Nabi. Tanpa
membatasi jumlah perawi, asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal
tersebut karena tidak ada dalil yang membatasi jumlah perawi.keberadaan hadis
mauquf dan mursal ditolak oleh Ibnu Hazm sebagai hujjah, hal tersebut karena
menurut Ibu Hazm tidak semua sahabat Nabi adalah orang yang adil, bahkan
diantara mereka ada yang murtad dan munafik.namun menurut Ibnu Hazm kedua jenis
hadis tersebut dapat diterima menjadi hujjah jika ada ijma’ yang sahterhadap
makna hadis tersebut. Al-Sunnah yang mutawatir dan ahad menurut Ibnu Hazm dapat
menasakh al-Qur’an namun nasakh hanya terjadi pada masa Rosulullah, maka ketika
Rosulullah wafat dan wahyu berhenti, tidak mungkin terjadi nasakh kembali.
Ijma’
sumber
pokok ketiga dalam berinsibath menurut Ibnu Hazm adalah ijma’ yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ adalah hujjah kebenaran yang meyakinkan di
dalam agama Islam. Ibnu Hazm mengiatkan pendapatnya dari dhahir beberapa ayat:
“Dan barang siapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. (Surat an-Nisa’:115)
Ibnu Hazm juga mengkritik Imam Malik
yang menjadikan ijma’ ahlu madinah sebagai hujjah, hal tersebut dikarenakan:
a. Ijma’ seperti ini adalah hal yang tidak
mempunyai dasar
b. Keutamaan madinah hanya berlaku pada
masa itu saja
c. Orang yang menyaksikan wahyu adalah para
sahabat, sedangkan orang setelah mereka tidak.
d. Perselisihan umat manusia juga terjadi
di Madinah.
4. Relevansi Konsep dengan Keadaan Saat Ini
Pemilik mutlak dari tanah adalah
Allah Swt. jadi seseorang tidak boleh menyewakan tanah tersebut. Ibnu Hazm menganjurkan
untuk melakukan muzara’ah agar tidak ada lahan yang tidak tergarap. Seperti
yang kita ketahui saat ini banyak orag yang menyewakan tanahnya, baik untuk
ditanami maupun untuk didirikan sebuah bangunan. Dari sisi tersebut nampak
bahwa konsep ini jarang dipakai dalam kehidupan modern. Meskipun masih kita
temukan penggarapan tanah dengan sistem muzara’ah, namun itu sedikit sekali.
Tentang kehidupan sosial Ibnu Hazm
mengatakan bahwa orang-orang kaya harus menanggung kehidupann fakir miskin yang
ada disekitar mereka. Hal itu nampaknya jarang kita temukan saat ini. Jangan
kan untuk menanggung kehidupan fakir miskin, memberi sedikit bantuan saja
mereka tidak mau. Sedikit sekali orang yang mau menerapka konsep tersebut.
Kebanyakan dari orang kaya senang menghambur-hamburkan harta untuk kesenangan
dirinya sendiri, tanpa memikirkan orang disekitarnya yang sedang membutuhkan bantuan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu
Hazm bernama lengkap Abu Muhammad Ali abn Abu Umar Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm
al-Qurthubi al-Andalusy, lahir pada akhir bulan Ramadhan 184 H (994 M). Beliau
mulai berguru pada tahun 400 H. Di antara guru-guru Ibnu Hazm yang mewarnai
pemikirannya adalah Ibnu Abd Barr al-Maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya
bin Mas’ud, Abu al-Khiyar Mas’ud bin Sulaiman al-Dhahiri, Yunus bin Abdullah
al-Qadhi, Muhammad bin said bin sa’i, Abdullah bin al-Rabi’ al-Tamimi, Abdullah
bin Yusuf bin Nami.
Di
antara karya-karyanya:
a. At-Taqrib li Hudud Al-Mantiq.
b. Tauq Al-Hamamah fi Fadhli Ahli
Al-Andalus
c. Nuqat Al-Arus fi Tawarikhi al-Khulafa
d. Al-Fashl fi Al-Nilal wa Al-Ahwa wa
An-Nihal
e. Al-Hakam fi Ushul Al-Ahkam
f.
Al-Ittishal
ila Fahm Al-Khishal, dll.
Ibnu Hazm memiliki pemikiran Ekonomi, diantaranya
tentang:
a.
Sewa tanah dan pemerataan kesempatan
b.
Jaminan sosial bagi orang yang tidak mampu
c.
Urgensi zakat
d.
Persoalan pajak
Dari pembahasan diatas telah kita pahami bahwa konsep
ekonomi yang Ibnu hazm tawarkan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Namun jika kita lihat kenyataan saat ini, konsep-konsep tersebut sudah mulai
ditinggalkan. Meski masih ada yang menerapkan konsep tersebut, tetapi sedikit
sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qhardhawi, Yusuf. 1993. Fiqh
al-zakah. Beirut: Muassasah al-Risalah
Asy-syarafa, Ismail. 2002. Ensiklopedi
Filsafat. Jakarta: Khalifa
Chamid, Nur. 2010. Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Kediri: Pustaka Pelajar.
http://natsirritsfiraus.wordpress.com /2011/07/03/ibnu-hazm-mazhab-adz-dzahiri di unduh pada 21 Oktober
2012
http://www.alsofwa.com , Ibnu Hazm di unduh
pada 21 Oktober 2012
http://ghanie-np.blogspot.com , Biografi dan Pemikiran ibn
Hazm di unduh pada 21 Oktober 2012.
http://kenaliulama.blogspot.com , Ibnu Hazm di unduh
pada 21 Oktober 2012
[1] Nur Chamid,Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam,(Kediri:Pustaka Pelajar,2010), hlm. 257
[2] Ismail Asy-Syarafa,Ensiklopedi Filsafat,(Jakarta:Khalifa,2002),cet. 1,
hlm. 5
[3] http://natsirritsfiraus
wordpress.com/2011/07/03/ibnu-hazm-mazhab-adz-dzahiri di unduh pada 21 Oktober
2012
[4] Nur Chamid, op., cit., hlm. 258-259
[5] http://www.alsofwa.com
, Ibnu Hazm di unduh pada 21 Oktober
2012
[6] http://ghanie-np.blogspot.com
, Biografi dan Pemikiran ibn Hazm di
unduh pada 21 Oktober 2012.
[7] Ismail, op., cit., hlm. 6
[8] http://kenaliulama.blogspot.com
, Ibnu Hazm di unduh pada 21 Oktober
2012
[9] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan
kekeluargaan dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim.
[10] Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma’shiat yang
kehabisan bekal termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
[11] Yusuf al-Qhardhawi, Fiqh
al-Zakah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993) jilid II, hlm. 964