BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbalakang
Sejarah
merupakan suatu hal yang tidak boleh dilupakan. Kita harus mempelajari dan
mengenangnya. Begitupun dengan sejarah filsafat Islam. Di mana di dalam
filsafat islam ada beberapa tokoh yang memiliki andil dalam memaparkan
filsafatnya. Di sini saya akan membahas salah satu filosuf dalam filsafat Islam
yaitu Al-Farabi.
Beliau hidup
pada abad ke 9-10 M. Karya-karyanya sangat mengagumkan dan dikenang sampai saat
ini. Bahkan saat ini banyak filosuf modern yang mengadopsi dari filsafat
Al-Farabi. Dalam sejarahnya, Al-Farabi juga menjelaskan tentang Teori Kenabian
dan juga membuat karya pendamai antara filsafat Plato dengan Aristoteles.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Al-farabi?
2. Apa saja karya-karya Al-Farabi?
3. Bagaimana Teori Kenabian yang telah
dikemukakan oleh Al-Farabi?
4.
Apa
karya pendamai antara filsafat Plato dengan Aristoteles yang dibuat oleh
al-farabi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Al-Farabi.
2. Untuk mempelajari karya-karya Al-Farabi.
3. Agar mengetahui tentang Teori kenabian.
4.
Untuk
mengetahui karya pendamai yang telah dibuat oleh al-farabi.
D. Kegunaan
1. Dengan mengetahui Riwayat Al-Farabi,
kita akan sadar bahwa seorang muslim juga dapat mempelajari dan menekuni
filsafat.
2.
Kita
dapat mengaplikasikan filsafat-filsaft Al- Farabi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
AL-FARABI
A. Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi lahir
di Wasij dekat Farab atau Transoxania pada tahun 870 M.[1] Nama
lengkapnya yaitu Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi.[2]
Sebutan Al-Farabi juga diambil dari nama kampung kelahirannya tersebut.
Berdasarkan informasi yang telah terhimpun, Al-farabi hidup dalam keluarga
seorang jendral Turki.[3]
Pendidikan dasar al-farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama
dan bahasa. Ilmu Agama meliputi Al-quran, hadis, tafsir dan fikih. Kemudian
bahasa meliputii bahasa Arab, Persia dan Turki. Namun ia tidak mengenal bahasa
Yunani dan Suryani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada saat
itu.[4]
Setelah dari farab, ia kemudian pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan pada
waktu itu. Di sana ia belajar kepada Abu Bishr Matta Ibn Yunus dan tinggal di
Bagdad selama 20 tahun. Selama itu ia menggunakan waktunya untuk mengarang,
memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal
pada masa itu antara lain Yahya dan ‘Aidi.
Kemudian ia
pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif Al-Daulah. Ia memusatkan perhatian
pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Dibidang filsafat ia melahap habis
karya-karya Aristoteles. Sampai-sampai ia membaca de Anima Aristoteles
sebanyak 200 kalli dan physics 40 kali. Berkat keseriusannya mendalami
karya-karya Aristoteles, ia pun disebut sebagai Guru Kedua.[5] Ia
berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan disampaikan ke tangan
orang awam. Oleh karena itu filosuf-filosuf harus menuliskan pendapat atau falsafat mereka dalam gaya bahasa yang gelap. Agar
jangan diketahui oleh sembarang orang. Dengan demikian iman serta keyakinan
seseorang tidak akan kacau.[6]
B. Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi
mempunyai pengetahuan yang luas. Ia mendalami ilmu yang ada pada masanya
termasuk filsafat. Ia mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki
hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada.[7]
Karya-karya Al-farabi beredar di timur dan Barat pada abad 10 dan 11 M,
sebagaimana terlihat terjemahannya ke bahasa Yunani dan Latin hingga
memengaruhi cakrawala peikiran sarjana Yahudi dan Kristen.[8]
Diantara karya dari Al-farabi pada masa itu antara lain:
1.
Ontologi
Al-farabi
menitik beratkan pemikirannya pada konsep wujud. Sesuatu yang ada namun sulit
didefinisikan dengan tepat, mengingat wujud lebih dahulu ada sebelum kosep
tentang segalanya ada. Wujud dalam pandangan al-farabi dibedakan kedalam dua
kategori, yaitu wajib dan mukmin. Wajib al wujud adalah berdiri
sendiri, yang mesti ada dan kita tidak dapat membayangkan ketiadaannya,
misalnya Tuhan. Sedangkan yang mukmin al wujud ialah wujud yang menjelaskan
berkat wujud yang lainnya. Ketiadaannya dapat dimengerti oleh akal sehat,
misalnya alam semesta ini.
Semua yang ada
bersifat potensial dan aktual. Wujud potensial berkemampuan menjadi aktual,
sebab semua benda sebelum menjadi benda aktual bersifat mukmin, karena masih
berwujud potensial. Sedang wujud aktual adalah wujud yang ada secara nyata.[9] Al-farabi
membagi wujud ke dalam substansi dan aksiden, serta esensi dan aksistensi.
Menurutnya, substansi adalah wujud yang ada pada sendiri, sedangkan aksiden
selalu memerlukan substansi yang menjadi dasar keberadaannya. Esensi merupakan
inti keberadaan sesuatu dan eksistensi adalah aktualisasi dari esensi.
2.
Metafisika
Teologis
Dalam suatu
karyanya, al-farabi manyatakan bahwa Tuhan dapat diketahui dan tidak diketahui,
Tuhan nampak sekaligus tersembunyi. Pengetahuan terbaik tentang Tuhan ialah
memahami bahwa Dia adalah yang tidak dapat dijangkau. Manusia tidak dapat
mengetahui Tuhan karena keterbatasan kapasitas intelaktualnya.[10]
Menurut
al-farabi, Tuhan bukan pesona yang tidak dapat dipahami sama sekali melalui
penalaran. Al-farabi membuktikan aksistensi Tuhan dengan mengajukan beberapa
argumen. Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang ada di alam semesta selalu
bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti yaitu adanya
sesuatu yang tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak. Kedua, penyebab
efesiensi. Ketiga argumen mukmin al-wujud dan wajib al wujud.
Alfarabi juga
memberi sifat kepada Tuhan, dalam artian bahwa manusia dapat mengetahui Tuhan
melalui ciptaan-Nya. Ia juga mengemukakan sifat Tuhan seperti Esa, sederhana,
tidak terbatas, hidup dan sebagainya. Tuhan itu sederhana, karena Dia tidak
tersusun dari wujud fisik dan metafisik. Tuhan itu satu. Jika Dia lebih dari
satu berarti Tuhan terdiri atas beberapa komponen.
3.
Kosmologi
Tuhan adalah
keniscayaan dan keberadaan alam semesta juga kebenaran yang tidak dapat disangkal.
Dalam menjabarkan masalah Tuhan, al-farabi mengedepankan teori emanasi. Dalam
karyannya yang berjudul Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilat, al-farabi
menjelaskan proses emanasi sebagai berikut: mula-mula akal berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul wujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama,
dan dari pemikiran itu timbul lah wujud Kedua yang juga mempunyai substansi
yang disebut Akal Pertama yang bersifat imateri. Akal pertama berpikir tantang
Tuhan selaku wujud pertama, dan dari pemikiran itu melahirkan wujud Ketiga yang
disebut akal Kedua. Wujud Kedua/ akal Pertama selanjutnya berpikir tentang
dirinya dan memunculkan langit. Wujud Ketiga/ Akal Kedua berpikir tentang wujud
Pertama yang kemudian menimbulkan wujud Keempat yang disebut akal Ketiga.
Ketika wujud Ketiga/ Akal Kedua memikirkan dirinya sehingga memunculkan
bintang-bintang yang kukuh. Wujud Keempat/ Akal Ketiga memikirkan wujud Pertama
yang kelak memunculkan wujud Kelima/ Akal Keempat. Ketika memikirkan dirinya, timbul
lah bola Saturnus. Wujud Kelima/ Akal Keempat memikirkan wujud Pertama meninbulkan
wujud Keenam/ Akal Kelima. Ketika memikirkan dirinya, terbantuklah bola Yupiter.
Wujud Keenam/ Akal Kelima yang berpikir tentang wujud Pertama melahirkan wujud
Ketujuh/ Akal Keenam. Ketika memikirkan diri sendiri, timbul bola Mars. Wujud
Ketujuh/ Akal Keenam memikirkan wujud Pertama memunculkan Wujud Kedelapan/ Akal
Ketujuh. Ketika memikirkan diri sendiri,
lalu timbul bola matahari. Wujud Kedelapan/ Akal Ketujuh memikirkan wujud
Pertama yang selanjutnya melahirkan Wujud Kesembilan/ Akal Kedelapan. Ketika
memikirkan diri sendiri, bola Venus pun tercipta darinya. Wujud Kesembilan/
Akal Kedelapan memikirkan wujud Pertama, sehingga muncul wujud Kesepuluh/ Akal
Kesembilan. Ketika memikirkan diri sendiri, terciptalah bola Merkuri. Wujud
Kesebelas/ Akal Kesepuluh memikirkan dirinya sendiri, memunculkan bola Bulan.[11]
Ketika proses
pemikiran sampai pada wujud Kesebelas/ Akal Kesepuluh, kemunculan akal-akal
berikutnya pun terhenti. Dari akal Kesepuluh itu terciptalah Bumi, ruh-ruh,
serta materi pertama yang menjadi dasar unsur api, udara, air, dan tanah. Jadi
dengan demikian, terdapat sepuluh akal dan sembilan lahit yang tetap kekal
berputar di sekitar bumi.
4.
Psikologi
Jiwa manusia
memancar dari akal sepuluh.[12]
Menurut al-farabi, di dalam jiwa terkandung tiga daya utama antara lain daya
gerak, mengetahui dan berpikir. Daya gerak meliputi makan, memelihara dan
berkembang. Daya mengetahui meliputi daya rasa dan imajinasi. Sedangkan daya
berpikir meliputi akal praktis dan akal teoris.
Dari tiga daya
tersebut, hanya daya berpikir yang memiliki tingkatan, yaitu:
a.
Akal
potensial, yaitu akal yang baru memiliki potensi berpikir dalam arti kemampuan
melepaskan arti-arti atau bentuk dari materinya saja.
b. Akal aktual, yaitu suatu akal yang telah
mampu melepaskan arti dari materinya, dan memiliki wujud yang sesungguhnya
dalam akal. Bukan lagi dalam bentuk potensial, namun dalam bentuk aktual.
c.
Tingkat
akal mustafad, yaitu akal yang Cuma bisa menangkap bentuk. Letak perbedaan
antara akal mustafad dengan akal aktual yaitu pada daya tangkap terhadap
sesuatu. Jika akal aktual hanya mampu menangkap arti yang terlepas dari materi,
maka akal mustafad sanggup menangkap bentuk tanpa terikat dengn materi, seperti
Tuhan dan Akal Sepuluh.
Akal potensial
menangkap bentuk dari sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera, dan akal
aktual menangkap arti dan konsep. Sedangkan akal mustafad memiliki daya lebih
tinggi sehingga mampu berkomunikasi atau menangkap inspirasi dari akal yang
lebih tinggi, yaitu akal Sepuluh. Ini adalah akal aktif, di dalamnya terdapat
bentuk segala wujud. Hubungan manusia dengan akal aktif seperti hubungan antara
mata dengan matahari. Mata dapat melihat karena menerima cahaya matahari.[13]
5.
Filsafat
Politik
Dalam pemkiran
politik, al-farabi telah menulis karya tersendiri tentang kota Utama. Kota
digambarkan sebagai seonggok tubuh manusia yamg memiliki anggota dan fungsi
masing-masing. Kepala memegang posisi terpenting, karena bertugas mengatur
anggota badan yang lain. Kepala harus memiliki kemampuan akal mustafad yang
dapat mengkomunikasikannya dengan akal Sepuluh selaku pengatur bumi. Sebaik-baik
kepala adalah Nabi dan Rasul. Kepala yang serupa inilah yang dapat mengadakan
peraturan-peraturan yang baik.[14]
Manurut
al-farabi, masyarakat terdiri dari dua macam yaitu masyarakat sempurna dan
tidak sempurna. Masyarakat sempurna dibagi ke dalam tiga tingkatan: masyarakat
besar, yaitu dunia seluruhnya; masyarakat pertengahan, yang terdiri dari
sebagian dunia atau teritorial; dan masyarakat kecil yang hanya terdiri atas
satu kota. Perkembangan dari tidak sempurna menjadi sempurna menurut Al-farabi
bertingkat-tingkat. Mula-mula masyarakat manusia berupa masyarakat yang tersebar,
lalu menjadi masyarakat desa dan kampung. Kemudian menuju ke masyarakat kota
yang sempurna berpemerintahan.[15]
Pokok filsafat
politik kenegaraan al-farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang
berkuasa mutlak mengatur negara. Menurut
al-farabi, negara yang utama ialah kota yang warganya tersusun menurut susunan
alam besar atau menurut susunan alam kecil. Di mana di dalam negara yang terpenting
adalah kepala negara. Adapun negara yang tidak baik dibagi dua macam yaitu
negara fasik dan negara bodoh. Negara fasik adalah negara yang anggotanya
berpengetahuan sama dengan anggota Madinah Fadilah, tetapi kelakuannya seperti
anggota negara bodoh. Sedangkan negara bodoh sendiri adalah negara yang
anggotanya hanya mencari kesenangan jasmani saja.[16]
Khusus mengenai
etika kenegaraan ia mengemukakan suatu ide yang mengemukakan bahwa dalam tiap
keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal itu seperti dalam alam, yang kuat
berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus
mengambil teladan dari naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa
dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
C. Teori Kenabian
Akal yang
sepuluh itu dapat disamakan malaikat dalam faham Islam. Filosof dapat
mengetahui hakekat karena dapat berkomunikasi dengan akal Kesepuluh. Nabi atau
Rasul demikian pula dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan
mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.[17] Tapi
kedudukan Rasul lebih tinggi daripada Filosof. Nabi atau Rasul dapat
berkomunikasi dengan akal Kesepuluh karena pemberian Tuhan. Sedangkan filosof
dapat mengadakan komunikasi dengan akal Kesepuluh atas usahanya sendiri. Rasul
atau Nabi diberi daya imajinasi yang begitu kuat sehingga dapat berhubungan
dengan akal Kesepuluh tanpa latihan yang dijalani para Filosof.[18]
Oleh karena
filosof dan Nabi atau Rasul mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu
yaitu akal Kesepuluh. Maka pengatahuan falsafat dan wahyu yang diterima tidak
bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan akal Kesepuluh dapat
mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.
D. Karya Pendamai Al-farabi
Suatu
keistimewaan yang diraih al-farabi ialah tentang usaha yang ia lakukan dalam
mengkompromikan perbedaan paham antara Aristoteles dengan Plato. Plato
mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini hanyalah tiruan semata dari
alam indra. Sedangkan Aristoteles mengatakan sebaliknya. Lalu Plato mengatakan
bahwa alam dunia ini baru dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles
berpendapat bahwa alam dunia ini qadim, sudah ada sejak semula dan abadi
selama-lamanya.[19]
Dalam bukunya al-farabi
membahas perbedaan antara filsafat Plato dan Aristoteles.
a.
Apakah
dalam karangan Aristoteles itu terdapat pertentangan dalam dirinya sendiri?
b. Apakah pendapat yang dikatakan orang
pendapat Aristoteles itu sebenarnya pendapat orang lain?
c.
Apakah
pertentangan Plato dan Aristoteles itu sungguh-sungguh merupakan pertentangan
mutlak yang tidak mungkin disesuaikan lagi?
Persoalan
pertama dijawab oleh al-farabi bahwa tidak mungkin pada seorang yang amat
pandai seperti Aristoteles terdapat pertentangan dalam dirinya sendiri.[20]
Persoalan kedua
dijawab oleh al-farabi bahwa kemungkinan pendapat yang diuraikan itu bukan lah
pendapat aristoteles jauh sekali, sebab bagaimana pun filsafat Aristoteles
sudah cukup termasyur di kalangan orang banyak.
Persoalan ketiga
dijawab oleh al-farabi bahwa pertentangan yang ada diantara Plato dan Aristoteles
itu janganlah dianggap sebagai pertentangan yang mutlak dan prinsipil, tetapi
haruslah dianggap sebagai pertentangan yang relatif dan hanya dalam soal
rincian saja.
Al-farabi
mengatakan bahwa semua filsafat itu memikirkan kebenaran. Pada hakikatnya kebenaran
filsafat pada prinsipnya adalah tidak berbeda. Demikian juga antara filsafat
dan agama, keduanya sama-sama mimikirkan kebenaran.[21]
Seandainya terdapat pertentangan pemikiran antara Plato dan Aristoteles tentu
bukan perbedaan yang prinsipil, namun dalam masalah yang relatif.
Demikian usaha
yang dilakukan al-farabi utuk mengkompromikan dua pendapat yang menurut
anggapan banyak orang saling bertentangan. Banyak karangan yang ditinggalkan
al-farabi, namun karangan tersebut tidak banyak dikenal seperti karangan ibnu
Sina. Boleh jadi karena karangan al-farabi hanya berupa risalah, dan sedikit
sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karangannya
telah hilang, dan masih ada kurang lebih 30 buah saja, ditulis dalam bahasa
Arab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Farabi adalah
seorang filosof Islam yang lahir di
Wasij dekat Farab atau Transoxania pada tahun 870 M. Nama lengkapnya yaitu Abu
Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi. Pendidikan dasar al-farabi
dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Setelah dari
farab, ia kemudian pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan pada waktu itu. Di
sana ia belajar kepada Abu Bishr Matta Ibn Yunus dan tinggal di Bagdad selama
20 tahun. Selama itu ia menggunakan waktunya untuk mengarang, memberikan
pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat
Al-farabi
dijuliki sebagai Guru Kedua karena karya-karyanya yang sangat monumental.
Karya-karya al-farabi secara garis besar yaitu:
1.
Ontologi
2. Metafisika Teologis
3. Konsep Kosmologi
4. Psikologi
5.
Filsafat
politik
Al-farabi juga
memaparkan tentang teori kenabian. Menurut al-farabi, Nabi atau Rasul demikian
pula dapat menerima wahyu karena mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi
dengan Akal Kesepuluh. Tapi kedudukan Rasul lebih tinggi daripada Filosof. Nabi
atau Rasul dapat berkomunikasi dengan akal Kesepuluh karena pemberian Tuhan.
Sedangkan filosof dapat mengadakan komunikasi dengan akal Kesepuluh atas
usahanya sendiri.
Selain itu karya
al-farabi yang tidak kalah pentingnya adalah karya pendamai. Yaitu suatu karya
yang membahas tentang karya Plato dan Aristoteles. Dimana karya Plato dan
Aristoteles banyak yang saling bertentangan. Kemudian al-farabi mencoba
mengkompromikan diantara karya keduanya.
[1] Harun Nasution, Filsafat dan mistisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), hlm. 26
[2] Ahmad Syadali, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: pustaka
Setia, 2004), hlm. 167
[3] Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (jakarta: Penerbit Erlangga,
2006) hlm. 26
[4] Mudzakir, op. Cit., hlm. 168
[5] Drajat, op. Cit., hlm. 26
[6] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 26
[7] Mudzakir, op. Cit., hlm. 168
[8] Drajat, op. Cit., hlm. 27
[9] Ibid., hlm. 28
[10] Ibid., hlm. 31
[11] Ibid., hlm. 33
[12] Ibid., hlm. 34
[13] Ibid., hlm. 35
[14] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 32
[15] Mudzakir, op. Cit., hlm. 169
[16] Ibid., hlm. 170
[17] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 32
[18] Ibid., hlm. 32
[19] Mudzakir, op. Cit., hlm. 171
[20] Ibid., hlm. 172
[21] Ibid., hlm 172
saya abadikan juga,, afwan.
BalasHapus