BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
mengenai bank tentu akan kita kaitkan dengan kegiatan ekonomi. Karena bagaimana
pun segala aktifitas perbankan adalah aktifitas ekonomi. Kesuksesan perbankan
tak lepas dari peran ekonomi itu sendiri. Begitupun sebaliknya kemerosotan
ekonomi akan menghambat kesuksesan aktifitas perbankan. Ekonomi akan menemui
berbagai masalah dalam perkembangannya. Permasalahan tersebut menuntut kita
untuk tanggap dan kritis dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Bank
merupakan lembaga keuangan yang memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup
manusia. Keberadaannya memberikan kemudahan bagi kita dalam menyimpan kekayaan
dalam bentuk uang. Penyimpanan uang di bank memberikan rasa aman dari pada
harus menyimpan di rumah. Dalam perjalanannya bank menemui beberapa masalah.
Dalam hal ini bank harus cakap menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul
agar tidak menimbulkan banyak kerugian.
Meskipun
tantangan dalam perbankan selalu ada, namun bank harus tetap beroperasi untuk mewujudkan
semua tujuannya. Jika kita lihat dari sejarah, maka bank syariah muncul ke
permukaan pada saat terjadi krisis besar-besaran. Bank syariah muncul dengan
membawa solusi akan keraguan masyarakat terhadap bank konvensional.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, dapat kita ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa saja masalah dalam ekonomi?
2.
Bagaimana masalah perbankan?
3.
Tantangan apa saja yang ada pada sektor perbankan?
4.
Mengapa bank syariah itu ada?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui beberapa komponen
penting yang ada pada rumusan masalah, seperti masalah ekonomi, perbankan,
tantangan sektor perbankan, serta alasan adanya perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masalah Ekonomi
Jumlah penduduk Indonesia yang
besar, lebih dari 200 juta dengan beragam etnis, suku, kultur dan budaya ini
merupakan sebuah asset sekaligus tantangan besar. Diperlukan perencanaan yang
komprehensif dan integral atas sistem produksi dan distribusi terhadap
pemenuhan kebutuhan primer seperti persoalan sandang, pangan, dan papan. Hingga
saat ini Indonesia belum mampu mengatasi persoalan mendasar tersebut. Realitas
menunjukan bahwa lebih dari 50% produksi beras domestik dihasilkan di pulau
Jawa, pada tahun 1980-an. Sementara ketersediaan lahan di pulau Jawa mengalami
penciutan terus-menerus karena himpitan industrialisasi dan pembangunan
pemukiman.[1]
Disisi lain, tanah di luar Jawa kurang cocok untuk persawahan sehingga
memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi lagi.
Indonesia merupakan negara yang
kaya. Namun harus diakui bahwa masih banyak sumber daya milik Indonesia yang
belum dimanfaatkan secara maksimal atau bahkan malah justru pihak asing yang
berhasil mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.[2]
Hal tersebut merupakan salah satu masalah ekonomi Indonesia. Berikut ini adalah
beberapa masalah ekonomi Indonesia yang lain:
1.
Pengangguran
Ini merupakan masalah klasik yang
belum juga terselesaikan secara tuntas. Dari tahun ke tahun jumlah pengangguran
di Indoensia semakin bertambah. Upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja
belum bisa menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah sebelum berusaha
menciptakan lapangan pekerjaan seharusnya terlebih dahulu membangun sumber daya
manusia yang bekualitas. Baik dengan cara memperbaiki sistem pendidikan maupun
pembangunan. Hal ini akan lebih efektif dari pada hanya memperbanyak lapangan
pekerjaan tetapi sumber daya mausia yang bekerja tidak kompeten. Dengan
demikian, maka tingkat pengangguran akan mulai berkurang.
2.
Biaya Ekonomi
Tinggi
Ini juga merupakan masalah klasik di
dunia industri. Ada banyak hal yang menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.
Diantaranya adalah pungutan liar/pungli yang tidak hanya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi namun tidak jarang dilakukan secara terbuka.
Dengan adanya pungutan liar
tersebut, maka ada biaya-biaya siluman yang harus dikeluarkan. Hal itu tentu
akan membuat biaya yang harus dikeluarkan bertambah tinggi. Kemudian produsen
mau tidak mau harus menaikan harga produk untuk menutupi biaya-biaya tersebut.
Masalah ini tentu tidak menguntungkan bagi para konsumen, karena harga kebutuhan
semakin mencekik ekonomi mereka. Pemerintah selaku penguasa harus berani mengambil
kebijaksanaan untuk memberantas segala bentuk pungutan liar tersebut. Dalam hal
ini tentu pemerintah harus ekstra teliti dalam mengawasi setiap
kegiatan-kegiatan produksi.
3.
Regulasi
Ekonomi
Beberapa kali pemerintah
mengeluarkan keputusan mengenai regulasi ekonomi yang dianggap tidak tepat bagi
kondisi perekonomian Indonesia. Contohnya adalah keputusan pemerintah untuk
masuk dalam anggota CAFTA yang sekarang ini mengakibatkan membanjirnya produk
China di Indonesia sehingga membuat produk lokal kepayahan di pasar sendiri.
Pemerintah dalam hal ini salah dalam
mengambil kebijaksanaan. Seharusnya pemerintah lebih mengutamakan produk dalam
negeri. Jika produk dalam negeri dinilai kurang berkualitas, maka pemerintah
harus berupaya memperbaiki kualitas produk-produk dalam negeri. Dengan jalan
tersebut, maka masyarakat akan mulai melirik produk lokal. Kondisi ini akan
membuat ekonomi Indonesia bisa lebih baik.
4.
Kelangkaan
Bahan Pokok
Operasi pasar yang sering dilakukan
pemerintah disaat harga bahan pokok mulai beranjak naik bisa dipastikan tidak
membantu menyelesaikan masalah ini. Kelangkaan bahan pokok memang merupakan
masalah yang sangat sering terjadi di wilayah luar jawa karena alasan teknis
seperti transportasi.[3]
Namun menjelang puasa, lebaran, dan natal bisa dipastikan wilayah jawa juga
mengalami masalah yang sama.
Menurut kami kelangkaan bahan pokok
di luar pulau jawa bukan hanya karena masalah-masalah teknis seperti
transportasi. Pasalnya kita tahu bahwa ketika menjelang lebaran, puasa, natal
dan hari-hari besar lainnya kelangkaan juga terjadi di pulau jawa. Dari sini
kita bisa menyimpulkan bahwa ada oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk meraup keuntungan yang besar. Kita bisa amati ketika momen
tersebut banyak orang yang menimbun bahan pokok untuk membuat persediaan bahan
pokok minim. Dengan demikian, maka pasar akan menaikan harga barang karena kelangkaan.
Pada waktu ini lah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjual kembali
barang yang mereka timbun untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi.
5.
Tingginya
Suku Bunga Perbankan
Suku bunga merupakan salah satu
indikator sehat/tidaknya kondisi perekonomian Indonesia. Suku bunga yang
terlalu tinggi ataupun yang terlalu rendah akan sangat mempengaruhi
perekonomian.
6.
Tingginya
Nilai Inflasi
Nilai inflasi akan sangat
berpengaruh bagi kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Di
Indonesia sendiri nilai inflasi tergolong tinggi sehingga banyak masalah
ekonomi susulan yang terjadi karena inflasi ini. Selain itu, inflasi di
Indonesia sangat 'sensitif' mudah sekali naik. Misalnya walaupun hanya dipengaruhi
oleh tingginya harga cabai rawit beberapa waktu yang lalu.
B.
Masalah Perbankan
Bank
di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional.
Menurut UU RI No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”.[4]
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem
perbankan syariah ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut
maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dll), di mana
hal ini tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Perbedaan
utama yang paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni
pembagian keuntungan. Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau
riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator penabung
dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena nasabah telah
mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta
bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga
tabungan dengan bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan dari
bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak
ikut merasakan untung rugi usaha tersebut.
Hal
yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank
disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan
akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang
disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau
kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah
yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari bank. Penabung
tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan
berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
Dari
perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional
penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak
terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank,
nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan saja.
Sekilas perbedaan itu memperlihatkan di Bank Syariah nasabah mendapatkan
keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank. Jika
pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil yang
didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan keuntungan
sedikit.
Dalam
perjalannnya, bank di Indonesia mengalami beberapa masalah sebagai beikut:
1.
Negatif Spread
Maslah
ini terjadi karena bank harus membayar biaya bunga kepada deposan dengan suku
bunga yang tinggi. Sedangkan suku bunga pinjaman tidak bisa disesuaikan
sepenuhnya.[5]
2.
Likuiditas
Masalah
ini banyak dirasakan oleh bank swasta. Mobilitas dana masyarakat yang
masuk-keluar perbankan menjadi sangat tinggi, dan sebagai akibatnya bank
terpaksa memerlukan suku bunga tinggi agar dana masyarakat dapat terhimpun.[6]
Masalah likuiditas terjadi akibat rush terhadap bank swasta, sementrara
bank-bank yang mengalami kelabihan likuiditas tidak mau menolong bank-bank
lainnya. Nasabah cenderung mangalihkan dana ke bank-bank yang dianggap aman,
teutama bank asing dan bank BUMN.
3.
NOP (net open position)
Terjadi
fluktuasi nilai tukar yang tajam menyebabkan bank devisa mengalami kesulitan
dalam mengelola asset dan kewajiban yang didominasi mata uang asing.
Implikasinya, setiap terjadi pergerakan dalam nilai rupiah maka bank mengalami
kerugian valas. Sebagi akibat mudahnya bank meperoleh pinjaman luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan likuiditas valuta asingnya. Ironisnya sebagian besar
tidak dilakukan lindung nilai, pada saat terjadi gejolak nilai tukar kewajiban
bank meningkat secara drastis.
4.
NPL (non-performing loan)
Masalah
ini muncul sebagai akibat terjadinya kontraksi output disatu pihak, dan
meningkatnya beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga di lain
pihak. Maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya,
bank harus menanggung jumlah NPL yang lebih besar.[7]
Dengan demikian bank diharuskan manyediakan PPAP yang ada gilirannya
memperberat posisi keuangan bank.
5.
Permodalan
Beban
negatif spread, meningkatnya sebagai biaya pencadangan/PPAP karena meningkatnya
NPL, penyelesaian utang luar negeri yang terkait dengan NOP, serta melonjaknya
beban biaya operasional secara terakumulasi perlahan-lahan menggerogoti modal
bank.
C.
Tantangan Sektor Perbankan
Adanya
berbagai permasalahan ekonomi menjadikan perbankan menjadi sektor pembangkit
kembali kegiatan perekonomian. Peranan tersebut akan sangat ditentukan oleh
strategi pembangunan yang ditetapkan oleh kekuatan politik baru yang berkuasa,
disamping kepentingan komersial dari kekuatan pelaku asing yang tidak dapat
diabaikan, dengan adanya perbankan yang baik dalam sistemnya menjadi harapan
masyarakat dan menjadi pembantu dalam kegiatan ekonomi.
Sebagai
tantangan sektor perbankan syariah ke depan antara lain sebagai berikut:
1.
Kepastian
hukum tentang mekanisme penyelesaian sengketa UU perbankan syari’ah belum
memuat secara pasti, mekanisme penyelesaian sektor yang dapat terjadi antara
nasabah dan bank syari’ah terutama mengenai lembaga peradilan yang bertanggung
jawab mengurus tentang sengketa tersebut.
2. Batasan yang jelas antara peran BI dan DSN
MUI
Perlu
kejelasan lebih lanjut dalam pembagian tugas BI dan DSN MUI dalam perannya
sebagai pengawas sekaligus regulator dalam pelaksanaan operasionalisasi
perbankan syariah diperlakukan.[8]
3. Peningkatan kualitas sumber daya insani
perbankan syari’ah indonesia. Saat ini
SDI yang dimiliki bank syariah kurang memadai. Yang memiliki kopentensi yang
tidak hanya di bidang perbankan tetapi mencakup pola aspek syariah dalam
praktik perbankan.
4. Memperbarui peraturan-peraturan
perbankkan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank
syariah.
5. Pemahaman masyarakat belum tepat
terhadap kegiatan operasional bank syariah disebabkan oleh belum tegas mengenai
bunga.[9]
6. Sosialisasi belum dilakukan secara
optimal.
7.
Jaringan
kantor bank syari’ah masih terbatas. Persaingan bank konvesional sangat ketat
dan mempersulit bank syariah dalam memperluas sekmen pasar.
D.
Alasan Adanya Bank Syariah
Secara
filosofis, bank syari’ah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah
riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang di anggap riba merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi dunia islam dewasa ini. Belakangan ini para ekonom
muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk menghentikan
sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan
etika islam. Upaya ini dilakukan dalam membangun model teori ekonomi yang bebas
bunga dan pengujinya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi, dan distribusi
pendapatan.
Oleh karena itu, mekanisme perbankan
bebas bunga yang bisa disebut dengan bank syari’ah didirikan. Bank syari’ah
didirikan didasarkan pada alasan filosofi maupun praktik. Alasan filosofinya
adalah dilarangnya riba dalam transaksi keuangan maupun nonkeuangan seperti dalam firman Allah
swt dalam surat al-Baqarah (2) : 275 yang berbunyi (Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba) dan alasannya praktisnya
adalah sistem perbankan berbasis bunga atau konvensiaonal mengandung beberapa
kelemahan, yaitu sebagai berikut:
1. Transaksi berbasis bunga melanggar
keadilan atau kewajaran bisnis. Dalam bisnis, hasil
yang diperoleh setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah
berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui, walaupun
perusahaannya mungkin rugi. Meskipun perusahaan untung, namun bisa jadi bunga yang
harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan dengan
norma keadilan dalam islam.
2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi
berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan. Hal
ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan
pengangguran sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang makin
menyulitkan upaya pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan seluruh
masyarakat.
3. Komitmen bank untuk keamanan uang
deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan
bunganya. Oleh sebab itu, demi keamanan bank
hanya mau meminjamkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada
orang yang sanggup menjamin keamanan peminjamnya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat
berharga pemerintah. Jadi, semakin banyak peminjam yang hanya diberikan kepada
usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan
untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan
selain tidak seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan, juga bertentangan
dengan semangat islam.
4. Sistem transaksi berbasis bunga
menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
Usaha besar mengambil resiko untuk mencoba tehnik dan produk baru karena mereka
mempunyai cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak
berhasil. Sebaliknya, usaha kecil tidak dapat mencoba ide baru karena untuk itu
mereka harus membutuhkan pinjaman dana berbunga dari bank. Bila gagal, tidak
ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar kembali pinjaman berikutnya
bunganya sehingga bisa saja mereka menjadi bangkrut. Hal ini terjadi terutama
pada para petani. Jadi bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga
memperburuk keseimbangan pendapatan.
5. Dalam sistem bunga, bank tidak akan
tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian kembalian
modal dan pendapatan bunga mereka. Setiap rencana
bisnis yang diajukan kepada mereka selalu diukur dengan keteria ini. Jadi, bank
yang bekerja dengan sitem ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha
yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. Sistem ini menyebabkan misallocation
sumber daya dalam masyarakat islam.
Berangkat dari
beberapa kelemahan sistem perbankkan konvensiaonal tersebut maka perbankan
syariah diharapkan mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan produk sendiri
sesuai dengan teori perbankan syariah. Jika kebebasan ini terwujudkan, secara
ideal akan memberikan manfaat yaitu :
a.
Terpeliharanya
aspek keadilan bagi yang bertransaksi
b. Lebih menguntungkan di banding dengan
konvensional
c. Dapat memelihara kesetabilan nilai tukar
mata uang karena selalu terkait dengn transaksi riil bukan sebaliknya
d. Transparasi menjadi sifat yang melekat (inheren)
e. Memperluas aplikasi syariah dalam
kehidupan masyarakat muslim.[10]
Alasan
lain adanya perbankan syariah secara realistis adalah adanya perbankan syari’ah
telah di dukung oleh legeslasi dan regulasi yang telah di keluarkan samoai
tahun 1999 yaitu UU perbankan dan UU bank indonesia serta peraturan.
Pelaksanaannya peda pertengahan tahun 1997 telah muncul krisis ekonomi dan
moneter di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Salah satu yang menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi yang berbasis pada bunga sebagaimana telah diterapkan
tersebut, termasuk di bidang perbankan terbukti tidak mampu untuk mengatasi
krisis keuangan dan moneter yang sedang terjadi. Bahkan sistim perbankan yang
berbasis bunga dalam kegiatan yang bersifat spekulatif telah menyebabkan tumbuh
dan berkembangnya moral hazard dalam transaksi kegiatan ekonomi sehingga
berperan besar dalam meruntuhkan pembangunan perekonomian bangsa.[11]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah ekonomi secara kompleks di Indonesia
perlu adanya suatu inovasi baru sebagai jembatan untuk mengentaskan
perekonomian masyarakat. Adanya perbankan syariah yang muncul sebagai bank
dengan sistem ekonomi berlandaskan Al-quran dan As-sunnah secara langsung menjadi jembatan bagi
kemajuan ekonomi masyarakat.
Hal itu dapat kita
lihat dalam berbagai produknya selalu memperhatikan keberadaan pengembangan
usaha dalam sektor yang tidak dapat dijangkau perbankkan konvensional. Sistem-sistemnya dalam sektor riil menjadi alasan utama
pengembangan ekonomi kerakyatan. Namun permasalahan ekonomi yang semakin
kompleks dan tuntutan ekonomi global menjadi tantangan tersendiri bagi
keberadaan perbankkan syariah, berbagai tantangan yang harus terus menjadi
perhatian demi kemajuan perbankan syariah itu sendiri.
Perbankan syariah
muncul karena sitem ekonomi yang sebelumnya dianggap gagal. Bank syariah
memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang diakibatkan
dari sistem konvensional. Konvensional dianggap lemah dan lambat dalam
mengatasi krisis global. Hal itu membuat masyarakat harus memilih sistem yang
layak dalam perkembangan zaman ini.
[1] Muhammad, Manajemen
Bank Syariah, (Yogyakarta:
UPP AMP YKPN, 2005), hal.3
[5] Muhammad, Bank
Syariah; problem dan prospek perkembangan di Indonesia, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2005), hlm. 22
[6] Ibid,
hlm. 23
[7] Ibid, hlm.
23
[8] Muhammad, Op.
Cit, hlm. 6
[9] Ibid, hlm.
7
[10] Amir machmud
rukmana, bank syari’ah, (Jakarta:
Erlangga, 2010), hlm. 4
[11] Jundiani,
Pengaturan hukum perbankan syari’ah di Indonesia, (Malang: Pers, 2004),
hlm. 28
0 komentar:
Posting Komentar